TANGGAL 12 Juli telah diperingati sebagai Hari Koperasi Nasional. Seluruh aktivis koperasi dan rakyat Indonesia merayakan dirgahayu Koperasi ke-70 tahun. Di usia yang tidak muda lagi, koperasi berusaha menjawab tantangan zaman yang kian beragam. Tidak hanya tantangan, problematika yang menyelimuti koperasi di Indonesia pun tak kalah beragam.
Salah satu problematika di sini adalah minimnya pengaruh bahkan apresiasi terhadap koperasi. Padahal, koperasi merupakan soko guru perekonomian bangsa yang mementingkan kepentingan bersama. Bukan untuk kepentingan individu atau suatu golongan saja. Di dalam UUD 1945 pasal 33 juga telah tersirat bahwa koperasi berasas kekeluargaan.
Semakin modernnya Indonesia, keberadaan koperasi semakin memprihatinkan. Bukannya tambah menggeliat, melainkan semakin tidak terlihat peranannya. Berdasarkan data yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah koperasi aktif di Indonesia mulai rentang tahun 2005-2016 semakin bertambah kuantitasnya. Pada tahun 2005 mencapai 94.944, sedangkan pada tahun 2016 mencapai 150.223.
Angka yang sangat signifikan, akan tetapi masih kalah dengan jumlah pemodal baik dari dalam maupun luar negeri. Koperasi seolah-olah terkena racun yang secara perlahan menggerogoti tubuhnya hingga tidak bisa berkembang dengan baik. Sebaliknya, jumlah perusahaan yang berbasis kapitalis mulai menjamur di Indonesia. Bahkan pemiliknya bukan pribumi, melainkan WNA (warga negara asing) yang menanamkan modal di Indonesia.
Berdasarkan data operasional Bursa Efek Indonesia (BEI) dan data Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mencatat, jumlah investor baru pasar modal sampai dengan akhir Desember 2016 naik menjadi menjadi 535.994 SID dari sebelumnya 434.107 SID. Jumlah tersebut lebih besar dibandingkan pertumbuhan investor baru di tahun sebelumnya naik 18,83% atau 68.804 SID dari posisi Desember 2014 sebanyak 365.303 SID.
Kenaikan jumlah investor ini dikhawatirkan akan memberikan dampak buruk bagi dunia perkoperasian. Pasalnya, masih banyak koperasi yang belum mampu bersaing terhadap produk dan pelayanan dari investor. Stagnanisasi tanpa inovasi yang menjadi penyebab terbesar dari kemerosotan koperasi saat ini. Sehingga banyak orang yang memilih menggunakan pelayanan dari investor dari pada koperasi.
Di sisi lain, faktor kemunduran koperasi karena minimnya pengetahuan terhadap seluk beluk koperasi itu sendiri. Pihak kementerian dan dinas telah memfasilitasi adanya pendidikan perkoperasian. Yang diikuti dari berbagai macam golongan, seperti mahasiswa, wiraswasta, bahkan pengusaha sekalipun. Tentornya pun bukan sembarang orang, melainkan aktivis bahkan pakar di dunia perkoperasian Indonesia.
Yang seringkali terjadi kesalahan adalah porsi materi perkoperasiannya kalah dengan porsi kewirausahaannya. Seolah-olah bukannya dididik untuk menjadi ahli dalam perkoperasian, tetapi malah dididik menjadi wirausahawan (entrepreneur). Setelah pelatihan juga harus selalu di follow up secara berkala untuk memonitoring output dari pelatihan tersebut. Porsi keduanya haruslah seimbang (balance). Karena keduanya juga saling keterkaitan satu sama lain.
Minimnya pengetahuan tentang koperasi ini secara otomatis sangat berdampak buruk pada kualitas koperasi. Koperasi menjadi kurang berkembang dengan maksimal. Oleh karena itu, kuantitas saja tidaklah cukup ketika kualitasnya buruk. Bahkan bisa menghilangkan fungsi dan tujuan koperasi, yaitu untuk menyejahterakan anggota. Karena koperasinya dilanda pailit akibat kurang berkembang dengan baik.
Sangat memprihatinkan ketika sang soko perekonomian bangsa Indonesia dilanda krisis pengetahuan perkoperasian. Koperasi yang seharusnya turut memajukan perekonomian bangsa Indonesia secara perlahan lenyap oleh keberadaan produk investor yang berdatangan. Kapitalisasi di Indonesia kian yang menjamur menjadi momok menakutkan bagi koperasi.
Pemerintah pusat maupun daerah seolah tidak ada daya membendung investor yang akan menanamkan investasinya di Indonesia. Bisa dijumpai saat ini banyak ritel dan pusat perbelanjaan yang sahamnya didominasi oleh asing. Hal ini menjadikan masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang konsumtif dan hedonis. Izin untuk mendirikan ritel dan pusat perbelanjaan ini juga sangat mudah. Dengan jarak beberapa meter saja bisa ditemui ritel dan pusat perbelanjaan.
Ketika sering berbelanja di ritel atau pusat perbelanjaan tersebut, yang mendapat keuntungan hanya pemiliknya saja. Lain halnya dengan koperasi, ketika sering bertransaksi maka keuntungan yang diperoleh juga akan kembali ke konsumennya melalui Sisa Hasil Usaha (SHU). Karena diawal menjadi anggota koperasi, diwajibkan untuk menyetorkan Simpanan Pokok dan Simpanan Wajib (SP-SW) yang gunanya untuk menghidupi koperasi. Dengan usaha berjamaah ini tidak ada yang dirugikan, justru menguntungkan untuk anggotanya.
Perlu adanya upaya untuk menggeliatkan kembali gairah koperasi Indonesia. Seiring dengan bertambah majunya IPTEK, perlu adanya reformasi dalam gerakan perkoperasian. Diharapkan bisa lepas dari masa kejumudannya. Dengan memanfaatkan teknologi komunikasi, koperasi harus bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Misalnya koperasi online, dan lain sebagainya. Kemajuan berpikir masyarakat Indonesia bisa dimanfaatkan untuk memajukan koperasi Indonesia.
Dengan kemasan yang menarik dan didukung dengan kemajuan teknologi ini koperasi Indonesia saatnya bangkit kembali mengambil alih stabilisasi perekonomian bangsa Indonesia dari cengkraman kapitalisasi. Sudah saatnya koperasi Indonesia kembali berjaya menjadi soko guru perekonomian Indonesia. Pemerintah juga harus turut mendukung semua gerakan Perkoperasian sebagai upaya memajukan koperasi Indonesia. Salam Koperasi. (karya: Muhammad Iqbal Najib, pernah dimuat di Reporter muria news)